Saturday, March 28, 2009

Jagung dan Gorontalo


Prospek Agribisnis Jagung

Penyebab kenaikan harga pangan dunia saat ini adalah naiknya harga minyak bumi hingga mencapai 139 dolar AS per barrel disamping dampak pemanasan global (global warming) yang menyebabkan perubahan iklim dan pola cuaca bumi. Tingginya harga minyak mendorong banyak pihak untuk beralih menggunakan berbagai kemungkinan sumber energi alternatif, termasuk diantranya berbahan baku nabati seperti alkohol dari tebu dan jagung serta biodisel berbahan baku kelapa sawit atau kedele. Bahan-bahan tersebut tidak hanya dipandang sebagai sumber pangan tetapi juga merupakan sumber energi.

Nampaknya kecenderungan naiknya harga komoditas pangan bersifat jangka panjang dan tidak hanya merupakan gejolak spekulasi sesaat. Banyak pihak mulai memperkirakan akan terjadinya krisis pangan yang akan menimpa setidaknya 36 negara termasuk Indonesia. Cadangan yang semakin menipis mendorong harga komoditas pangan semakin tinggi mencapai tingkat tertinggi. Harga jagung akan mencapai titik tertinggi dalam 11 tahun terakhir. Stok jagung di dunia sekitar 199 juta ton dan cukup untuk cadangan dalam empat bulan atau sekali musim tanam. Namun, tahun 2007 stok jagung tinggal 48 hari.

Tahun 2007, produksi jagung dunia 770 juta ton, tetapi konsumsi 774 juta ton. Naiknya konsumsi akibat kebijakan pengembangan etanol dan meningkatnya konsumsi daging warga China dan India. Di Asia, tiap tahun impor jagung 35 juta ton. China, yang sebelumnya menjadi eksportir jagung, tahun lalu mengimpor 1 juta ton. Malaysia mengimpor 5 juta ton. Jepang tiap tahun butuh 16 juta ton, Taiwan 5 juta ton, dan Korea 9 juta ton. Semua jagung impor berasal dari AS, Brasil, dan Argentina. Namun, AS kini tengah giat mengembangkan etanol berbasis jagung.

Kenaikan harga jagung di pasar domestik ini seiring dengan naiknya harga jagung dunia diakibatkan oleh pergeseran struktur permintaan komoditas biji-bijian ke arah konversi energi. Sebagai gambaran, harga jagung impor saat ini mencapai Rp 3.000 per kg, naik 26 persen dari periode yang sama tahun 2007. Di Gorontalo, harga jagung naik dari Rp 1.200 per kilogram pada awal tahun 2007 dan kini berkisar Rp 1900 per kg sampai Rp 2.500 per kg. Di tingkat petani, rata-rata harga jagung tembus Rp 1.600 per kg, sementara dua tahun lalu sekitar Rp 800. Untuk pertama kalinya harga jagung impor lebih tinggi dibanding harga jagung lokal.

Sejak 1990-an, area lahan pertanian stagnan. Potensi perluasan lahan hanya bisa dilakukan di hutan Amazon, Brasil, dan Indonesia meskipun kecil. Di luar kedua negara itu, lahan pertanian tak mungkin dikembangkan. Dari 188 juta hektar lahan yang tersedia, ada sedikitnya 100 juta ha yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan nonkehutanan. Diperkirakan dengan rata-rata tambahan konsumsi jagung dunia dalam setahun 100 juta ton, diperlukan lahan baru untuk budidaya jagung hingga 20 juta ha, dengan asumsi tiap hektar menghasilkan 5 ton jagung. Karena itu, prospek agribisnis jagung akan cerah.

Agropolitan Gorontalo

Provinsi Gorontalo mencatat pembangunan pesat di bidang ekonomi berbasis agropolitan tanaman jagung. Secara geografis, provinsi muda ini diapit oleh Laut Sulawesi di sebelah utara, Provinsi Sulut di sebelah timur, Teluk Tomini di sebelah selatan, dan Provinsi Sulteng di sebelah barat. Provinsi Gorontalo memiliki luas wilayah sebesar 12.215,45km2. Perekonomian masyarakat Gorontalo sebelum tahun 2001 boleh dibilang tertinggal dibandingkan dengan provinsi lain di sekitarnya, bahkan di antara provinsi lain di kawasan Indonesia Timur.

Perekonomian daerah mengalami kemajuan seiring dengan pencanangan program agropolitan dengan komoditi jagung sebagai andalan daerah. Data statistik BPS menunjukkan, pertumbuhan ekonomi meningkat dari 6,7 persen pada 2002 menjadi 7,3 persen pada 2005 sebagai dampak dari meningkatnya areal dan produki tanaman jagung. Tahun 2000, areal tanaman hanya 34.412 Ha kini sudah 105.258 Ha. Tahun 2000, produksi jagung hanya 76.573 ton meningkat menjadi 451.094 ton pada tahun 2005. Selain itu, pendapatan perkapita meningkat dari Rp1,2 juta pertahun tahun 2001 kini sudah meningkat hingga Rp3,5 juta pertahun. Indikator yang paling mudah dilihat dari kemajuan Gorontalo adalah jumlah masyarakat Gorontalo yang naik haji, dulu hanya 200-300 orang calon jemaah haji asal Gorontalo namun pada musim haji 2005 telah mencapai 1000 orang.

Dipilihnya jagung sebagai budidaya andalan masyarakat Gorontalo sebagai prioritas pengembangan daerah karena terkait erat dengan pola konsumsi masyarakat Gorontalo yang menjadikan jagung sebagai menu pelengkap nasi disamping memiliki modal dasar etos kerja bercocok tanam hortikultura seperti kelapa, cengkeh, padi, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar dan tebu yang semuanya memiliki potensi untuk dikembangankan.

Keberhasilan budidaya jagung, juga didukung oleh kebijakan pemerintah daerah di bidang perlindungan harga dasar jagung sehingga masyarakat memiliki kepercayaan yang kuat untuk menanam jagung. Perlindungan harga di tingkat petani dituangkan dalam bentuk perda sehingga memiliki kekuatan hukum yang cukup untuk mengatur harga komoditi tersebut. Mutu, jagung Gorontalo dikenal tak hanya di Asia tapi juga Afrika. Ekspor jagung Gorontalo antara lain ke Malaysia dan Singapura dengan total 275.000 ton pertahun yang tadinya hanya 70-80 ribu ton pertahun.