Wednesday, December 22, 2010

Ekonomi Gorontalo: PNS vs Entrepeneur

Oleh : Andi MF Avandy, Spt., MM
(Dipublikasi di Gorontalo Post Tanggal 20-21 Desember 2010)


Seperti tahun-tahun sebelumnya, Minggu lalu ribuan orang mengadu nasib mengikuti proses penerimaan CPNS di Propinsi Gorontalo. Mereka tergiur merasakan sensasi berseragam PNS. Betapa menjadi Pegawai Negeri Sipil masih menjadi obsesi bagi sebagian besar masyarakat. Adanya embel "Negeri" menjadi simbol kesuksesan dan kebanggaan yang tidak dimiliki oleh mereka yang berembel "Swasta". Mungkin karena dari dulu mereka dididik bahwa SD/SMP/SMU"Negeri", Perguruan Tinggi "Negeri" lebih bergengsi dibanding "swasta" sehingga demikian pula bekerja sebagai PNS. Tapi stereotip itu harus di ubah jika daerah ini ingin maju. Sebab mengandalkan penciptaan lapangan kerja dari penerimaan PNS adalah membuat ekonomi tergantung pada PNS yang notabene dalam jangka panjang menambah beban anggaran pemerintah.
Perekonomian di Gorontalo sangat dipengaruhi oleh belanja PNS. Bukti ekonomi digerakan oleh belanja PNS:

1. Ada gap yang besar antara omzet penjualan di toko-toko pada tanggal muda dan tanggal tua.
2. Dana pihak ke tiga di perbankan akan meningkat pada bulan-bulan pencairan proyek-proyek pemerintah.
3. Menjamurnya kredit konsumer dengan sasaran PNS yang ditawarkan lembaga pembiayaan non bank.

Enam puluh persen anggaran pemerintah daerah dibelanjakan untuk gaji PNS dan sisanya digunakan untuk membangun infrastuktur dan lain-lain. Anggaran untuk gaji PNS jelas tidak akan memberikan peningkatan GDP daerah (Gross Domestic Product). Sudah menjadi rahasia umum kebanyakan PNS yang sudah mendapat SK pengangkatan akan "mengadaikan" SK tersebut untuk memperoleh kredit di Bank. Kredit ini pun digunakan bukan untuk kegiatan produktif (modal usaha) tapi untuk konsummtif seperti membangun Rumah, mencicil motor, membeli mobil, dan lain-lain. Sehingga pada akhirnya arus uang yang masuk dari pusat akan kembali lagi dengan cepat ke ibu kota (Jakarta) tanpa memberi dampak pada perekonomian daerah.
Berbeda halnya jika anggaran itu lebih banyak dialokasikan untuk pembangunan jalan, irigasi, penyediaan benih unggul, maka akan memberi efek berlipat-lipat ganda terhadap peningkatan produksi hasil bumi. Seharusnya pemerintah fokus pada upaya memperkecil luas lahan tidur dan memperbesar produksi tanaman per meter persegi. Pemerintah terlalu banyak mengalokasikan anggaran untuk pembangunan fisik yang bersifat monumen (gedung, rudis, menara) yang sekedar menjadi uang mati tanpa berdampak luas bagi kesejahteraan masyarakat. Bukan pula memperlebar jalan yang masih lowong sehingga mengorbankan sawah produktif di kiri-kanan jalan yang pada akhirnya akan beralih fungsi menjadi rumah dan ruko.
Kita tahu jika suatu daerah berkembang maka harus ada yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Jika daerah tersebut banyak tanaman kelapa maka akan ada ekspor kopra keluar. Jika daerah tersebut banyak menghasilkan jagung maka akan banyak jagung yang di kirim ke luar daerah untuk diolah kembali menjadi pakan ternak, makanan, dll. Jika daerah tersebut banyak dibudidayakan tanaman coklat maka akan banyak tanaman coklat yang pada akhirnya di ekspor. Hasil ekspor kopra, jagung, coklat dan tanaman perkebunan tersebut akan mendatangkan aliran masuk uang. Uang akan mengalir dari eksportir kepada buruh, pedagang pengumpul, dan petani dan selanjutnya masuk kedalam perekonomian didaerah tersebut akan bergairah. Akan ada daya beli dan daya beli tersebut akan meningjkat seiring peningkatan produksi dan ekspor.
Di gorontalo, kita tidak menemukan kawasan industri pengolahan sebagaimana Bitung di Sulut dan Makasar. Hal ini diakibatkan oleh keterbatasan infrastruktur listrik. Padahal jika ada industri pengolahan maka hasil bumi berupa coklat, jagung, kopra dan lain-lain akan meningkat nilai jualnya berpuluh-puluh kali lipat sehingga arus uang masuk pun akan semakin besar.
Gorontalo ini ibarat pepatah "besar pasak dari pada tiang". Lebih banyak uang keluar dibanding uamg masuk sehingga rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Bagaimanan hidup seorang PNS berpenghasilan 3 juta bila setiap bulan harus mencicil KPR 1 Juta, cicilan motor 1 Juta dan cicilan Kartu Kredit 1 Juta (minimum payment 10% dari max fasilitas 10 Juta akibat mark up/manipulasi data penghasilan). Belum ditambah cicilan notebook, Blackberry di lembaga pembiayaan resmi maupun tidak resmi.

Pegawai "Makan Tulang"
Apakah pemerintah propinsi sudah memperhitungkan anggaran penambahan PNS dari sisi efektifitas dan efisiensi. Sudahkah dihitung berapa besar rasio benefit/cost-nya? Apakah penambahan setiap unit PNS akan meningkatkan efisiensi? Ataukah memanjakan rakyat dengan buaian kemapanan hari tua ala PNS. Jangan sampai pengadaan PNS dengan biaya yang begitu besar hanya mengasilkan pegawai-pegawai ber-mental "makan tulang" alias "benalu". Ingat, biaya yang dikeluarkan berasal dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat dengan harapan kinerja pelayanan aparat menjadi lebih baik.

Spirit of Entrepeneur
Kita tentu terheran-heran dengan negeri Singapura. Heran mengapa Singapura bisa begitu maju padahal negeri kecil dan miskin sumber daya alam. Ternyata kemajuan Singapur karena mereka mejadi "makelar" terhadap kekayaan alam negeri ini. Ekspor komoditas,seperti jagung, kopi, karet kita dimasa lalu dan bahkan hingga hari ini harus melalui tangan-tangan Entrepeneur di Singapura. Begitu pula dengan barang-barang konsumtif seperti elektronik, spare part kendaraan, fasion, dan lain-lain yang kita impor harus melalui Singapura. Hal ini karena mereka memiliki pelabuhan yang besar dan fasilitas yang lengkap. Mereka adalah negara Entrepeneur terbaik di dunia yang pandai memanfaatkan keunggulan geografis. Tidak ada jalan lain bagi pemerintah dan rakyat Gorontalo untuk memajukan daerah ini melalui sektor pertanian memperbanyak wirausahawan di bidang pertanian dan perdagangan. Waullahu a'lam bi shawab.
(Magister Manajemen Agribisnis IPB 2005, Commercial & SME Unit Bank Swasta di Gorontalo, Blog : malaipadi.blogspot.com)